Senin, 22 Oktober 2012

Misteri Pegasus

            Langit masih gelap. Jalanan masih tampak lengang. Lampu-lampu jalan di sepanjang jalan masih menyala. Manusia masih lelap dalam tidurnya. Tetapi tidak bagi ratusan siswa-siswi klas XII SMAN 567, yang terkenal dengan nama SMAN Solasi itu. Sejak pukul 05.00 pgi, mereka sudah berkumpul di Aula sekolah, sambil membawa tas besar dan beberapa jinjingan. 2 hari ke depan, mereka akan mengadakan acara perpisahan di sebuah villa dekat pantai.

            Mereka sedang asik berbincang ria, sambil menunggu bus yang akan membawa mereka datang. Di antara ratusan siswa di Aula, 2 di antaranya terlihat gelisah. Mondar-mandir dari Aula ke pintu gerbang kemudian ke Aula lagi, lalu ke pintu gerbang lagi, kemudian kembali ke Aula. Terus seperti itu sampai akhirnya bus datang.

“ Bener-bener deh ini, anak !!” Keluh cewek berkuncir kuda dan berkulit hitam yang bernama Direi.
            “ Sabar .. Sabar .. Sebentar  lagi dia pasti datang kok .” Hibur Sandra. Direi tak menggubrisnya. Wajahnya masih ditekuk. Suasana hatinya masih gelisah.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah 7. Sejak setengah jam yang lalu, siswa-siswi SMAN Solasi sudah siap di bangku bus-nya masing-masing. Sopir bus pun sudah mulai memanasi mesin bus-nya. Sementara Direi dan Sandra masih bertahan di pintu gerbang.       
            “ Gimana kalau nunggunya di bus aja ?” Saran Sandra. Direi menggeleng cepat.
            “ Ayolah, Rei. Capek nih. Dia pasti dateng kok. Dia bilangnya kan kesiangan. Bukan ngga dateng.” Ajak Sandra lagi. Direi akhirnya mengalah. Ia mengikuti saran Sandra untuk menunggu di dalam bus.

            Tetapi setengah jam sudah berlalu, yag ditunggu-tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Siswa-siswi yang ada di dalam bus nomor 3 itu mulai mengeluh.

            “ Sudah datang belum ? “ Tanya Pak Karim, guru pembimbing di bus itu. Seluruh siswa di dalam bus serentak menoleh ke belakang, seakan meminta jawaban dari Direi dan Sandra. Keduanya yang merasa terpojok hanya mengangkat bahunya dan menggelengkan kepalanya tanda mereka tak tau pasti jawabannya.

            “ Sudah dihubungi belom ? Sebenarnya dia mau ikut nggak, sih ?” Tanya Pak Karim tak sabar. Beliau kembali duduk.
          
            Tak beberapa lama, terlihat seorang cewek berambut gimbal yang tengah berlari tergopoh-gopoh sambil membawa dua koper kecil ala anak SD. Dengan bertelanjang kaki, cewek itu dengan cepat menaiki bus.
            “ CHIARAAAAAA…….RESE LOE !!!! “ Seluruh siswa di dalam bus langsung menyoraki Chiara yang baru saja menginjakkan kakinya didalam bus. Sementara yang di soraki hanya cengar-cengir bak kuda, melengos ke kursi belakang, menghampiri Direi dan Sandra.                    
“ Hei, Rei. San. “ Sapa Chiara, dengan tanpa rasa bersalah.

            “ Chiara .. Chiara .. Loe tuh bener-bener deh. Rumah loe kan kepeleset nyampe. Kemaren loe suruh gue bangunin loe. Pas gue nyoba telfon ke Handphone loe, malah nggak aktif. Gue telfon ke rumah, nggak ada yang angkat. Sebenernya yang kesiangan itu bukan loe doang kali ya. Nyokap loe, Bokap loe, Kakak loe, Pembantu loe, sampe Ayam loe juga kesiangan ? Tau nggak sih loe, kita disini udah nunggu satu setengah jam lebih. Bayangin ! Cuma nunggu loe ! Kalau bukan karena Pak Karim baik hati, loe udah di tinggal kali. Masalhnya ini tuh acara terakhir kita. Kalau loe nggak ikut ……Hppphhh….”
            Chiara menyumpal mulut Direi yang tak berhenti berkoar-koar dengan sisir yang baru saja di keluarkannya dari dalam tas.
            “Duh, nenek gue, pagi-pagi udah ngomel aja. Maaf ya, nek. HP aku lowbatt.” Ledek Chiara. Direi melempar sisir ke bahu Chiara.
            “Rese loe ahh.” Ujar Direi kesal. Chiara dan Sandra tertawa geli.
            Bus perlahan mulai menyusuri jalan-jalan kota. Jum’at pagi. Aktivitas manusia sudah di mulai. Para pekerja berangkat ke kantor, dan pelajar berangkat ke sekolah. Para Ibu rumah tangga pun sudah memulai pekerjaan rumahnya.
            Sementara bus berjalan, Chiara sibuk mendandani rambutnya yang memang belum sempat ia rapihkan. Sementara Direi asik dengan komiknya, dan Sandra bersama-sama teman-teman bernyanyi ria dengan gitar yang memang sengaja Aldo bawa.


            Sampailah Chiara dan teman-teman di sebuah yang di bangun di antara hutan dan pantai. Villa dengan komposisi kayu itu, terlihat seperti rumah zaman dahulu. Lampu-lampu minyak yang sudah di padamkan menghias di beberapa sudut ruangan. Di ruang tamu, terdapat sebuah patung kuda putih bersayap lebar di sebelah TV berukuran 29 inc. Di setiap dinding, banyak terpampang lukisan-lukisan hewan legenda seperti Dragon, Pegasus, Elf, Nessy, dan masih banyak lagi dengan ukuran yang cukup besar.
            “ Ini villa, atau Sanggar pameran seni sih ? “ Celetuk Chiara yang kemudian di sikut oleh Direi.
            “ Berisik loe.” Bisik Direi. Chiara mengerutkan kedua alisnya, heran.
            “ Tapi, Rei. Villa-nya kayak angker ya..” Sandra angkat suara.
            “ Perasaan loe doang kali.” Hibur Direi.
            Usai di beri pengarahan oleh pembimbing, siswa-siswi SMAN Solasi memilih kamar dan beristirahat sejenak sampai acara selanjutnya di mulai. Chiara, Direi, Sandra dan Siska memilih kamar di ujung lorong. Kamar dengan ukuran lebih besar dibandingkan dengan kamar yang lain itu, memiliki balkon yang menghadap langsung ke pantai. Itulah alasan mengapa mereka memilih kamar itu.
            “ Yakin nih, kita pilih kamar ini ? “ Tanya Siska ragu.
            “ Yakin lah. Emang kenapa, Sis ? Kamar istimewa tau. Ada balkon, ukurannya lebih besar, apa yang kurang coba .. ? Kita kan sekamar 4 orang, yang lain 3 orang, cocok lah kalau kita dapet kamar yang ini. “ Jelas Chiara.
            “ Tapi, perasaan gue kok nggak enak ya .. Soalnya, …… “
            “ Udahlah, nggak usah ngomong yang aneh-aneh. “ Potong Sandra.
            “ Bener tuh. Ya udah lah. Di bawa fun aja. “ Ujar Direi setuju. Chiara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Siska terdiam. Mengamati setiap sudut ruangan kamar.
            Seluruh siswa sudah berkumpul di halaman belakang villa. Duduk melingkar mengelilingi tumpukan kayu bakar yang seketika menjelma menjadi api unggun itu. Aldo mengeluarkan keahlian memainkan gitarnya lagi. Sebagian ikut bernyanyi dengan di iringi suara merdu Aldo, sebagian hanya berbincang ria dengan teman, bahkan ada yang mengambil kesempatan ini dengan berdekatan dengan pasangan mereka masing-masing.
            Tidak dengan Chiara. Usai sholat maghrib berjama’ah di joglo dekat villa, Chiara yang kembali ke kamar dengan Direi dan Sandra masih asik dengan guling di pelukannya. Direi dan Sandra sudah berusaha membangunkannya. Tapi Chiara tak juga bangun. Akhirnya mereka pun meninggalkan Chiara di kamar.
            Suara angin yang masuk ke dalam kamar, membuat Chiara akhirnya terbangun. Melihat sekelilingnya sepi, Chiara menuju balkon, mencari sosok teman-temannya. Tetapi sosok itu tak di temukan. Sudah jam setengah 8, mungkin mereka di joglo, sholat Isya berjama’ah. Pikirnya. Chiara pun berjalan menuju joglo. Tetapi hanya ada Siska disana.
            “  Hei, Sis. Kok sendiri .. ? Yang lain mana .. ? “ Tanya Chiara. Siska menoleh pelan.
            “  Lo kenapa .. ? “ Tanya Chiara lagi begitu melihat Siska menangis. Tiba-tiba Siska memeluk erat tubuh Chiara.
            “  Gue takut, Ra.” Ujar Siska dengan suara begetar.
            “ Takut kenapa .. ? “ Tanya Chiara heran. Siska hanya menggelengkan kepalanya cepat.
            “ Okey .. Okey .. Kita cari temen-temen aja yuk. “ Ajak Chiara yang diikuti anggukan kepala Siska.
            Dalam perjalanan, Chiara mendengar suara-suara orang yang sedang bernyanyi dari arah halaman belakang villa.
            “ Mungkin mereka disana.” Katanya. Siska hanya mengangguk, mengikuti langkah Chiara. Beberapa meter sebelum sampai ke halaman belakang, tiba-tiba Chiara kehilangan kesadarannya. Pingsan.



            Malam kian larut. Acara api unggun sudah usai sejak 1 jam yang lalu. Lebih tepatnya, terpaksa di hentikan. Bu Hanna yang melihat Chiara terkapar di balik semak-semak, kemudian berteriak mencari bantuan, yang akhirnya membuat acara api unggun dihentikan. Chiara di bawa ke kamarnya. Direi dan Sandra, sejak ditemukannya Chiara, masih setia menunggu di sisi ranjang, menunggu Chiara siuman. Beberapa siswa ada yang ikut menunggu kabar tentang Chiara di depan pintu, ada pula yang kembali ke kamarnya masing-masing.
            Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Chiara perlahan membuka matanya. Direi yang melihat Chiara sadar, langsung memanggil beberapa guru yang sedang berbincang-bincang di ruang tamu.
            “ Bu Hanna .. Pak Donny .. Chiara sadar, Bu, Pak. “ Ujar Direi antusias. Bu Hanna dan Pak Donny, beserta guru lain yang tak disebut namanya pun beranjak menuju kamar Chiara. Sesampainya dikamar Chiara, Direi beserta para guru, melihat Chiara sedang menangis, duduk di pojok ranjang, sambil menggigit selimut. Seperti orang yang sedang ketakutan.
            “ Ra, lo kenapa Ra.. ? “ Tanya Direi cemas. Sandra yang tengah tertidur, terbangun karena suara Direi yang lumayan keras itu.
            “ Rei, Chiara kenapa .. ? “ Tanya Sandra pada Direi.
            “ Nggak tau.” Jawab Direi.
            Bu Hanna mendekati Chiara. Menenangkannya. Setelah Chiara sedikit lebih tenang, Chiara mulai menceritakan hal yang baru saja ia alami.
            “ Siska, Bu. Siska ……… siluman. “ Katanya dengan suara gemetaran.
            “ Siluman .. ? “ Tanya Bu Hanna tak percaya.
            “ Saya nggak bohong, Bu. Saya bertemu Siska yang sedang menangis di joglo. Setelah itu, saya ajak dia ke halaman belakang. Tetapi setelah itu …………….”
            “ Setelah itu apa ? “ Tanya Direi tak sabar.
            “ Setelah itu, saya lihat Siska membentangkan sayap yang lebar yang tiba-tiba muncul dari balik badannya. Sayapnya bercahaya, Bu. Saya bener-bener takut. Setelah itu, saya nggak tau apa-apa lagi. “ Jelasnya. Bu Hanna terdiam.
            “ Ya sudah. Kamu istirahat-lah. Ibu keluar sebentar.”
            Setelah Bu Hanna keluar, Direi dan Sandra mendekati Chiara. Berusaha menenangkan sahabat sejolinya itu. Chiara sedikit terhibur. Sementara di halaman belakang, seseorang sedang terkapar pula di balik semak. Tak ada yang tau. Mungkin hanya bayang-bayang hitam lah yang tau sosok gadis pendiam itu kini terbaring lemah di balik semak. Menunggu bantuan yang tak tau kapan akan datang.
            “ Siska .. Mana Siska .. ? “ Tanya Sandra begitu menyadari Siska tak ada bersama mereka.
            “ Kenapa harus tanya soal dia sih .. ? Biarin aja .. Malahan gue harap dia nggak bakal balik kesini lagi. Mau makan berapa korban lagi dia .. ? “ Tolak Chiara kasar.
            “ Kok ngomongnya gitu sih .. ? Aku yakin siluman yang KATANYA kamu liat itu bukan Siska. “ Bela Direi. Chiara membuang muka.
            “ Maksud lo, lo nggak percaya kalo gue liat siluman itu .. ? Gue nggak bohong. Kalo gue bohong, untuk apa gue pake acara pingsan segala .. ? Tega lo emang. Temen macem apa kalian .. ? “ Bentak Chiara yang tak terima dengan nada bicara Direi yang seolah-olah tak percaya dengan kejadian yang di alami Chiara.
            “ Bukan gitu, Ra. Mungkin itu cuma halusinasi lo doang. Secara gitu, lo baru bangun tidur. “ Sandra berusaha menenangkan Chiara. Chiara tak menggubris omongan Sandra. Sandra hanya menghela nafas panjang.
            Malam kian larut. Semua siswa kembali ke kamar masing-masing. Direi dan Sandra masih berusaha mencari kemana perginya Siska. Sementara Chiara sudah tertidur pulas. Berkali-kali seluruh ruangan Villa di periksa, tak juga ditemukan sosok Siska. Direi dan Sandra memutuskan mencari bantuan kepada para guru. Dan alhasil, bantuan dari para guru dan karyawan villa membuahkan hasil. Mereka menemukan sosok Siska di balik semak, sama seperti Bu Hanna menemukan Chiara. Bedanya, kondisi Siska saat ditemukan masih setengah sadar. Hanya tubuhnya yang lemah. Tak kuat untuk berjalan sendiri.
            Siska dibawa ke ruang tamu, disuguhkan air minum hangat, kemudian di ajak bicara perlahan.
            “ Kok lo bisa disana, Sis .. ? “ Tanya Direi.
            “ Aku juga nggak tau, Rei. “ Jawab Siska dengan suara lemah. Bu Hanna pun melarang Direi dan Sandra untuk bertanya banyak, agar Siska bias menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah Siska tidur, Direi dan Sandra kembali ke kamar.
            “ Aneh .. Bener-bener aneh. “ Ujar Direi misterius.
            “ Aneh kenapa ? “ Tanya Sandra tak paham.
            “ Kata Chiara, dia liat Siska berubah jadi siluman, tapi Siska sendiri nggak tau apa yang baru saja ia alami. Apa mungkin ……….Siska kesurupan siluman bersayap itu .. ? “ Tebak Direi. Sandra hanya mengangkat bahunya, tidak tau.



            Pagi menjelang. Seluruh siswa sudah berbaris rapi di pantai. Menunggu perahu yang akan membawa mereka ke sebuah pulau kecil di seberang villa tempat mereka menginap.
            “ Yak .. Perahu sebentar lagi datang. Di mohon semuanya bersiap-siap. Masing-masing perahu berisikan 10 orang. Yang nanti akan di bimbing 2 guru dan 1 nahkoda. “ Tour Guide mulai bersuara.
            “ Tolong ketika kalian sudah sampai disana, jangan ada yang memetik tumbuhan meski hanya 1 lembar daun. Jangan ada yang membuang sampah sembarangan, dan jangan memberi makan kepada hewan-hewan yang ada disana. “ Lanjut Tour Guide itu lagi.
            “ Baik, Paaaaaaak “ Sorak siswa Solasi serempak.
            Tak beberapa lama, datanglah beberapa perahu. Masing-masing kelompok pun satu per satu mulai menaiki perahu mereka. Seperti biasa, Chiara, Direi, Sandra dan Siska berkumpul dalam satu kelompok. Tetapi, sejak kejadian semalam, Chiara sedikit menjauhi Siska. Chiara masih tak percaya kalau Siska adalah manusia.
            “ Gue rasa, Siska itu ‘kemasukan’, Ra .. Tolong lah. Jangan kayak gini. Kita satu kelompok. Masa satu sama lain diem-dieman gini ? “ Bujuk Sandra.
            “ Enggak .. !! Gue nggak akan dekat-dekat Siska dulu, sampai ada bukti yang nunjukkin kalau Siska itu manusia .. !!! “ Jelas Chiara keras kepala.
            “ Ayolah, Ra . “ Bujuk Sandra lagi.
            “ SEKALI ENGGAK YA ENGGAK .. NGERTI NGGAK SIH ??? “ Bentak Chiara marah. Sandra mengalah.
            “ Udah lah, San. Biarin aja Chiara sendiri dulu. “ Direi angkat suara. Sandra mengangguk mengiyakan.
            Kaki Chiara kini sudah berpijak pada Pulau berpasir putih. Diarahkan pandangannya ke sekeliling pulau. Tetapi matanya tertuju pada sebuah bayangan di balik batu besar. Bayangan kuda bersayap yang tengah membentangkan sayapnya yang lebar. Sayap itu … Gumam Chiara. Tanpa rasa takut sedikit pun, Chiara mendekat kearah bayangan itu. Dan …
            “ AAAAAAAAA ….. “ Teriak Chiara histeris begitu melihat sebuah kuda putih bersayap lebar dan bercahaya di hadapannya. Chiara terjatuh. Kuda itu tersenyum ke arahnya. Memperlihatkan gigi-gigi yang berbaris rapi. Chiara makin tak mengerti dengan kejadian yang kini di alaminya. Suara teriakannya begitu keras, tetapi tak satu pun orang yang mendengarnya. Kuda putih besar yang kini ada di hadapannya begitu besar. Cahaya yang di pancarkan kuda raksasa itu pun begitu mencolok. Tetapi anehnya, dari ratusan siswa Solasi dan beberapa guru di pulau itu, seolah tak melihatnya.
            “ Ada apa ini .. ? DIREI .. SANDRA .. BU HANNA .. SEMUANYA .. SIAPAPUN .. TOLONG GUE .. !!! “ Teriak Chiara. Tetapi tak ada satu pun yang mendengar Chiara. Chiara bingung. Chiara berusaha menghindari kuda bercahaya itu, tetapi kuda itu malah makin mendekat ke arahnya.
            “ Help me .. “ Ucap kuda itu lirih. Chiara terdiam.
            “ Help me .. “ Ucap kuda itu lagi.
            “ Aku bisa menolong apa .. ? “ Tanya Chiara.
            “ Help me .. “ Kuda itu malah mengulang perkataannya.
            “ Emm .. What can I do .. ? “ Ulang Chiara dengan kemampuan berbahasa Inggris-nya yang pas-pasan.
            “ In your room, my picture fall under the bed. Help me to pair it on wall. “ Chiara terdiam. Mencermati tiap kata yang terucap dari kuda itu. ‘Your room’ berarti ruanganmu. ‘My picture’ artinya lukisanku. ‘fall’ artinya jatuh. ‘Under the bed’ artinya di bawah ranjang, berarti ……. DIRUANGANMU, LUKISANKU TERJATUH DI BAWAH RANJANG. BANTU AKU MEMASANGNYA DI DINDING ??? “
            Chiara akhirnya mengerti apa yang harus di perbuatnya. Dengan cepat, Chiara berlari ke kamarnya, mencari lukisan yang di maksud sang kuda, dan ..
            “ Yapp .. Ini dia.” Ujarnya senang ketika berhasil menemukan sebuah lukisan yang menggambarkan kuda yang tadi Chiara lihat. Bergegas Chiara memasang lukisan itu tepat di samping pintu menuju balkon. Tiba-tiba, lukisan itu gambar kuda dalam lukisan itu tersenyum dan berkata pelan, Thank’s. Chiara membalas senyum kuda itu. Kemudian sang kuda kembali menjadi sebuah gambar yang indah. Sekilas, Chiara melihat sebuah tulisan yang terukir indah di punggung kuda itu. Pegasus.



            “ Chiara .. Chiara .. “ Panggil seseorang.
            “ Oahhhmm .. “ Chiara mengulet.
            “ Chiara .. Bangun ihh .. Mau balik ke Jakarta nggak sih .. ? “
            “ Ehh .. Hai, Direi. Hai, Sandra. Hai, ……. SISKA .. ???? “ Teriak Chiara kaget begitu melihat Siska berdiri di depannya, sambil menyunggingkan senyumnya.
            “ NGAPAIN LO .. ? DASAR SILUMAN .. !! “ Maki Chiara tiba-tiba. Siska tertegun tak percaya.
            “ Chiara .. Apa-apaan sih lo .. ? “ Tegur Direi.
            “ Dia tuh siluman, Rei. Suruh dia pergi. !! Kemarin malem dia udah nunjukkin wujud aslinya kalo dia tuh siluman .. !! “ Jelas Chiara. Direi dan Sandra tertawa geli.
            “ Ada apa .. ? “ Tanya Chiara heran.
            “ Chiara .. Chiara .. Kan malem itu juga sudah terbukti kalau Siska itu bukan siluman. Adar sesuatu roh halus yang merasuki tubuhnya. Waktu kita lagi cari Siska, kamu tidur duluan sampai sekarang. Bahkan, pagi tadi, waktu kita ke pulau seberang pun kamu nggak ikut. “ Jelas Sandra panjang lebar.
            “ Masa sih .. ? Tapi kayaknya tadi gue ikut deh. Tapi waktu gue panggil kalian, nggak ada satu pun dari kalian yang nanggepin gue. “ Direi, Sandra, dan Siska tertawa lagi.
            “ Itu MIMPI KALIIII .. !!! Emang tadi lo teriak-teriak manggil gue, tapi pas gue tanggepin, ternyata lo dalam keadaan tidur. Ya udah, gue tinggal sarapan aja lo-nya. Hahahahaha .. “
            Mimpi .. ? Nggak mungkin ah. Gumam Chiara tak percaya. Chiara pun langsung mengarahkan pandangannya ke pintu balkon. Dan, ternyata lukisan Pegasus itu benar-benar terpajang rapi di dinding samping pintu balkon.
            “ Lukisan itu, siapa yang pasang ? “ Tanya Chiara.
            “ Lah, tadi kan lo sendiri yang masang lukisan lo disana. Wah .. Lo bener-bener nggak beres nih. Masa, masang lukisan juga nggak sadar. Mimpi apaan sih lo ? Sampai segitu asiknya ? “ Siska angkat suara.
            Chiara terdiam. Mimpi yang tadi ia alami, seperti kejadian nyata.
            “ Ahh .. Bukan mimpi apa-apa. Udah yuk, kita beres-beres. Kita balik ke Jakartra .. !!! Ayeee .. !!! Oh ya Sis, sorry ya. “ Ujar Chiara. Mimik wajahnya berubah ceria. Siska tersenyum lembut.




THE END ..

Sejatinya Cinta_Part 1


         Udara pagi Jogjakarta menampar pipiku. Hawa dingin menusuk tubuh, bulu kudukku berdiri, dingin. Ku lirik jendela sekilas. Sebuah papan biru memanjang bertuliskan ‘TERMINAL BUS PURWOREJO’ langsung hadir di depan mataku. Tak sampai 2 jam lagi aku akan sampai di Perempatan Ngeplang, Jogjakarta, Setelah itu menumpang bus Menoreh tujuan Dekso.

Kulihat jam tangan biru pemberian Ayah. Jarum pendeknya, menunjukkan di angka 5. Pantas udara masih sedingin ini. Ku tutup jendela rapat-rapat, lalu kukenakan jaket biruku. Ku arahkan pandangan ke seluruh penjuru bus. Awal keberangkatan dari Terminal Bus Sumber Alam Pondok Ungu, Bus ini sesak dipenuhi penumpang. Tapi saat ini Bus sudah sepi. Hanya tinggal beberapa penumpang saja. Termasuk aku dan Kak Raissa.

                “ Jam berapa, Mey .. ? “ Tanya Kak Raissa padaku.
                “ Masih jam 5.45, Kak .. ” Jawabku.
                “ Sampai mana ya, ini .. ? “ Tanyanya lagi, sambil mencari-cari pamflet yang tertera nama Kotanya.
                “ Udah di Terminal Purworejo, Kak. “ Kataku, sambil berancang-ancang untuk melanjutkan tidur.
                “ Eeeh .. Jangan tidur lagi .. Sebentar lagi kita kan turun. “ Cegah Kak Raissa, sebelum aku benar-benar  menyandarkan kepalaku di kursiku.
                “ Iihh, Kakak .. Masih 2 jam lagi .. “ Aku merajuk. Kak Raissa geleng-geleng kepala, sambil terus menahan kepalaku.
                “ Nggak .. Nggak .. Daripada kita nanti kebablasan, hayo .. ? “ Kak Raissa ber-argumen.
                “ Kan Kakak bangun, kalau udah mau sampai, tinggal bangunin aku. Ribet deh ahh .. Aku masih ngantuk banget, Kaaak .. Kakak mah enak, udah tidur lama. “ Belaku.
                “ Pokoknya enggak .. Terserah kamu, kalau kamu tetep ngotot mau tidur lagi, Kakak nggak mau bangunin kalau udah sampai nanti. “ Ancam Kak Raissa. Aku menyerah. Ku buka mataku secara paksa. Kak Raissa ini, kalau ada maunya, nggak bisa ditolak !! Gerutuku dalam hati. Kak Raissa pun tersenyum. Aku melengos membuang muka, menghadap jendela. Kak Raissa malah tertawa.


                “Pak .. Pak .. “ Panggil Kak Raissa kepada seorang Bapak pengganti Supir. Bapak itu pun menghampiri tempat duduk kami.
                “ Ya, Neng .. ? “  Sahut si Bapak.
                “ Perempatan Ngeplang ya, Pak. “ Pesan Kak Raissa. Bapak itu tersenyum, kemudian mengambil tempat duduk dibelakang kami, yang memang sudah kosong.
                “ Masih lama, Neng .. Nanti di kasih tau.” Jawab Bapak itu.
                “ Ohh .. Makasih ya, Pak. “ Ujar Kak Raissa. Aku memandang Kak Raissa heran.
                “ Kenapa, kamu .. ? “ Tanya Kak Raissa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan olehku.
                “ Ihh .. Apa dehh .. Sok banget, pake tanya-tanya segala .. Kayak baru pertama kali kesini aja.”
                “ Biarin, daripada nyasar .. “ Kak Raissa tertawa kecil. Aku kembali mengarahkan pandanganku keluar.


Tiba-tiba tercium asap rokok. Dan aku benci asap rokok. Sama halnya dengan Kak Raissa. Kami berdua saling berpandangan. Kesal. Kak Raissa memberi tanda dengan mata, bahwa yang merokok adalah Bapak pengganti supir tadi, dan tepatnya yang duduk dibelakang kursi kami. Kak Raissa mengambil tissue, sementara aku mengambil syal-ku, lalu kami sama-sama menutup hidung. Ku buka jendela lebar. Asap rokok itu menghilang, terkalahkan oleh angin yang berhembus kencang. Kunikmati dalam-dalam angin segar itu. Wangi khas rumah Nenek melintas di pikiranku. Bukit-bukit hijau yang terlihat bertumpuk-tumpuk, menghiasi pandanganku. Dan juga sawah yang terbentang luas .. ah .. Jogjakarta .. Aku mencintai kota ini ketimbang Jakarta, kota kelahiranku. Dan aku pun mencintai kenangan itu, kenangan di kota ini. Ya .. Kenangan 4 tahun lalu …….

Ramadhan, 2008 …..


                        Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi keluarga besarku, tepatnya keluarga besar Mama, untuk pulang kampung. Apalagi semenjak Kakek meninggal beberapa bulan silam, Nenek tinggal seorang diri. Saat itu, usiaku masih 13 tahun. Dan masih duduk di bangku SMP kelas 2. Dalam perjalanan ke rumah Nenek, kulihat seorang laki-laki yang sepertinya sebaya denganku, tengah memberi makan 2 ekor anak kambing. Sepertinya laki-laki itu belum lama tinggal disini, karna baru kali itu aku melihatnya.


                Nenek memiliki lahan yang amat luas, yang didalamnya terdapat berbagai tanaman. Tak afdhol rasanya, kalau ke rumah Nenek, tidak mampir ke kebunnya. Maka dari itu, esoknya sesampainya di rumah Nenek, aku berjalan-jalan mengelilingi kebun Nenek, menyirami tanamannya, menyapu jalanan-nya, tak lupa memetik buah pisang yang memang sengaja Nenek tanam. 


                Dari kejauhan, aku mendengar suara gesekan antara daun-daun kering. Sepertinya ada yang sedang menyapu jalan setapak ini. Ternyata benar dugaanku, laki-laki yang tempo hari aku lihat, sedang mengumpulkan sampah-sampah dedaunan kering, dan siap membakarnya.

                                “ Permisi “ Ujarku, sambil tersenyum.
                                “ Silahkan .. “ Jawab lelaki itu sambil menyunggingkan senyum di wajahnya.
                                “ Kamu, dari Jakarta ya .. ? “ Tanya laki-laki itu, sebelum aku pergi menjauh.
                                “ Iya. “ Jawabku singkat, kemudian menghentikan langkahku.
                                “ Mau kemana .. ? “
                                “ Ke kebun Nenek .. “
                                “ Nenek .. ? “
                                “ Iya, Mbah Rini. “
                                “ Ohh .. Cucunya Mbah Rini .. ? Salam kenal, aku Raihan, tinggal di rumah Mbah Tri .. Kenal .. ? “ Ujar-nya memperkenalkan diri.
                                “ Aku Meyda .. Iya, aku kenal Mbah Tri .. Kamu, mudik juga kesini .. ? Kok aku baru tau Mbah Tri punya cucu laki-laki .. ? “ Tanyaku. Raihan tersenyum simpul, lalu menyalakan korek dan membakar gundukan sampah dihadapannya.
                                “ Aku saudara jauhnya Mbah Tri. Sebenernya aku nggak pernah mengenal Mbah Tri. Ibu nitipin aku disini untuk beberapa lama. Kurang tau pasti sih, silsilahnya. Yang jelas, kakak Ipar-nya Ibu aku itu anak dari Mbah Tri .. Bingung nggak .. ? Hehe .. “ Paparnya. Aku ber-oo ria. Tak beberapa lama, aku pamit undur diri, sementara Rey, begitu aku memanggilnya, masih berkutat dengan sampah-sampahnya.
                Mengingat-ingat sebutan untuk namaku dan nama Raihan, aku jadi tersenyum sendiri. Mey untuk Meyda, dan Rey untuk Raihan. Benar-benar suatu kebetulan.

                                “ Hayooo .. Kenapa senyum-senyum sendiri .. ? Habis kesambet apa .. ? “ Ujar Rama mengagetkanku. Ku jitak kepalanya pelan, meski aku tau usianya 2 tahun diatasku. Rama meringis kesakitan.
                                “ Ihh .. Kok malah nge-jitak sih .. “ Protes Rama.
                                “ Siapa suruh bikin kaget .. ? “ Belaku.
                                “ Hehe .. Makin cantik aja deh, Meyda Indira .. Apa kabar .. ? Setahun nggak ketemu, rasanya sudah bertahun-tahun ya .. “ Goda Rama. Aku melengos pergi. Rama menjajari langkahnya denganku.
                                “ Juteknya kok masih dipelihara sihh .. ? “ Kuhentikan langkahku, lalu ku pandangi tetangga Nenek yang super usil dihadapanku ini. Rama menjadi salah tingkah. Aku tersenyum sinis, kemudian menarik kerah bajunya.
                                “ Terus, kalau aku jutek kenapa .. ?” Tantangku.
                                “ Ehh. Meyda Indira berani ya .. Sini, aku acak-acak rambutmu itu ..” Aku berlari menghindari tangan usil Rama yang siap mengacak-acak rambut kesayanganku ini. Kami tertawa.

                Rama adalah tetangga Nenek, dan sudah akrab denganku sejak aku kecil. Dulu saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD, dan Rama di kelas 2 SMP, Rama pernah menyatakan perasaannya terhadapku. Aku hanya tertawa saat itu, dan menganggapnya hanya sebuah lelucon. Sejak itu, Rama menjauhiku. Tapi tak lama, hanya 1 tahun. Setelah itu, Rama kembali seperti Rama yang ku kenal. Ya, hingga kini.


                Tapi terkadang, sifat usilku muncul, dan meledek kejadian ‘penembakan’ itu. Rama selalu meresponnya dengan perkataan, ‘Kalau itu bukan lelucon, apa kamu mau .. ?’. Dan lagi-lagi aku tak menganggapnya serius. Setelah itu Rama pasti ngambek, dan baru menegurku keesokan harinya. Ah, Rama .. Rama .. You’re just my brother, okay. No more.


                Hari yang kutunggu-tunggu tiba. Lebaran. Usai sholat Id, aku dan keluarga kembali ke rumah Nenek untuk bersiap-siap berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk bersalam-salaman. Setelah mengunjungi beberapa rumah yang letaknya agak jauh dari rumah Nenek, kini saatnya berkunjung ke rumah terdekat.
                Aku tiba di halaman rumah Mbah Tri yang sejuk, yang dipenuhi beberapa buah pohon cengkeh yang siap panen. Seluruh keluarga besarku sudah masuk ke dalam rumah Mbah Tri, sementara aku masih sibuk dengan sepatu sandal macet ini. Rese banget deh nih, sandal .. Lagi kayak gini malah sempet-sempetnya macet sih Gerutuku.

                                “ Mau dibantu .. ?” Tawar seseorang. Ku dongakkan kepalaku. Raihan berdiri tepat didepanku, masih dengan baju koko putih dan sarung biru kotak-kotak-nya.
                                “ Eh, Rey .. Nggak usah .. Makasih.” Tolakku halus. Tanpa persetujuanku, Rey membungkukkan badannya dan membantuku melepas sepatu sendalku. Aku berusaha mencegahnya, tetapi Rey tetap bersikeras membantuku. Aku tersenyum kecil.
                                “Makasih” Ujarku pelan, setelah Rey berhasil melepas sepatu sendalku. Rey tersenyum, dan berdiri, kemudian masuk kedalam kamarnya. Sementara aku menyusul Mama dan yang lainnya.

                Aku duduk diantara Kak Raissa dan Dheya, adikku. Makanan khas Jogjakarta banyak terhidang di atas meja. Segelas sirup Orange hangat pun tak lupa dihidangkan. Tak lama, Raihan keluar dari kamarnya dengan memakai celana jeans dan kaos merah biru belang-belang.


                Dengan santai, Raihan menghampiri ruang tamu dan menyalami keluargaku satu persatu, termasuk aku. Raihan kemudian keluar dan menghampiri Rama serta beberapa anak lelaki seusianya yang tengah menunggu di halaman rumah Mbah Tri.

                Masih dalam suasana lebaran, Kak Raissa mengajakku berjalan-jalan. Sawah adalah tujuan utama. Karna disana ada sungai yang airnya amat jernih dan segar. Tak lupa Kak Raissa mengajak sepupu-sepupuku. Rama, yang meski tak diajak, pasti ikut. Aku heran dengan anak ini. Kemana aku pergi pasti dia ikut. Dan yang lebih membuatku tak nyaman, Rama selalu mengajak teman-temannya untuk ikut bersamanya.
                Ku pandangi Rama dari belakang. Rama dengan cerianya bersenda gurau dengan teman-teman se-‘RT’-nya itu. Tidakkah dia melihatku yang sedang kesal dengannya?

                                “ Woyy ..” Panggilnya kepada seseorang. Tak lama Raihan datang menghampiri Rama. Mau apa, Rama? Tanyaku dalam hati.
                                “ Ikut jalan-jalan yuk ..” Ajak Rama kepada Raihan. Kemudian Raihan memandang ke arahku, lalu mengangguk setuju. Ingin rasanya ku jitak kepala Rama. Bertindak sesuai keinginannya. Benar-benar Rama ini.

                Aku yang memang tidak biasa berjalan kaki jauh, jadi cepat lelah. Kuputuskan untuk istirahat sejenak, walaupun Kak Raissa tidak mau menungguku. Ku pijat-pijat kecil kakiku. Perjalanan menuju sawah memang sangat jauh menurutku. Harus menuruni bukit dulu. Aku tak sanggup jika terus berjalan.

                                “ Cape, Mey .. ? “ Tanya seseorang. Pasti Raihan, karna biasanya yang suka datang tiba-tiba adalah Raihan.
                                “ Ia, Rey..” Jawabku sekenanya.
                                “ Ha .. ? Rey .. ? Siapa tuh .. ? Cie .. Cie .. Meyda Indira.” Ledek Rama.
                                “ Eh, kamu Ram. Kirain ….”
                                “ Kirain siapa, hayo .. ? Rey siapa tuuh ..?” Ledek Rama lagi.
                                “ Ram .. Bisa nggak sih, nggak usah panggil aku selengkap itu. Kurang kerjaan tau nggak.” Aku mengalihkan pembicaraan, sambil terus memijit kakiku.
                                “ Mau di gendong .. ? Haha .. “
                                “ Apaan sihh .. ??? REY .. ????” Aku tersentak begitu tau Raihan kini yang ada di depan mataku. Aku bergegas berdiri.
                                “ Ooo .. Jadi Rey itu Raihan, Meyda Indira .. ? “ Rama meledek lagi.
                                “ Apa-apaan sih, kalian itu .. Ugghh ..” Aku berlari meninggalkan Raihan dan Rama kesal. Aku amat malu saat itu. Entah semerah apa pipiku saat tau Raihan-lah yang meledekku. Sementara Rama dan Raihan saling memandang heran.


                Sawah terhampar luas dihadapanku. Burung-burung kecil berterbangan di atasnya. Petani yang tengah istirahat di sebuah gubuk, menarik-narik seutas tali yang telah terhubung dengan orang-orangan sawah, mengusir burung-burung yang hendak merusak tanaman padinya. Sawah yang terletak di tengah-tengah perbukitan ini, amat indah dipandang.


                Aku dan ‘rombongan’ku berjalan menyusuri pematang sawah. Sebuah gubuk sejuk mengundang kami untuk mampir kedalamnya. Gubuk yang bertahun-tahun lamanya Nenek bangun di tengah sawah miliknya. Aku bersegera untuk duduk di sebuah batang pohon memanjang yang tersedia di dalam gubuk itu.
               
                                “ Hey, Mey .. “ Panggil Raihan.
                                “ He-eh ..” Sahutku pelan.
                                “ Masih BT ya .. ? “ Raihan merasa tak enak.
                                “ Keliatannya .. ? “ Ketusku.
                                “ Maaf, deh .. “ Raihan mengambil tempat duduk disebelahku. Aku masih tak menggubris permintaan maaf-nya.
                                “ Mey .. “ Panggilnya beberapa menit kemudian. Aku menoleh ke arahnya. Sebuah ukiran terpampang dihadapanku. ‘RAIDA’.
                                “ Siapa, Raida .. ? “ Aku tak mengerti. Raihan kemudian tersenyum simpul.
                                “ Raihan Meyda. Hehe .. “
                                “ Ihh, maksain deh .. Haha .. “ Aku tertawa geli.
                                “ Biarin .. Yang penting kamu bisa ketawa lagi .. “ Ujar Raihan, dan membuatku menghentikan tawaku.
                                “ Kapan, balik ke Jakarta-nya .. ? “ Tanya Raihan.
                                “ Lusa” Jawabku singkat. Kemudian kami terdiam cukup lama. Tiba-tiba Raihan tersenyum kecil, lalu menarik lenganku.

“ Kita ke sungai ya .. “ Ajaknya paksa. Aku berusaha menolak, tapi Raihan tetap tak melepas genggamannya. Mau tak mau, aku pun ikut dengannya.


                                “ Ngeplang siap-siap .. !!! “ Teriak Bapak pengganti supir, membuyarkan lamunanku. Ku bangunkan Kak Raissa, yang ternyata tidur, lalu bersiap-siap membawa barang-barang bawaanku. Perlahan, aku menuruni satu persatu tangga Bus yang selama 13 jam itu kutumpangi. Seorang anak muda menawari bantuan membawakan barang-barangku.

                                “ Dekso, Mbak .. ?” Tanya anak muda itu. Aku mengangguk kecil. Kemudian anak muda itu mengantarkan aku dan Kak Raissa pada sebuah Bus berukuran lebih kecil dari Metromini. Menoreh. Tulisan bagian belakang Bus. Bus inilah yang akan mengantarkanku ke Dekso. Kemudian melanjutkan perjalanan menumpang ojek ke Desa Tukmudal, desa tempat Nenekku tinggal.

                Acara perpisahan setelah kelulusan sudah usai beberapa hari yang lalu. Kak Raissa kemudian mengajakku berlibur ke rumah Nenek. Awalnya aku tak yakin ketika Kak Raissa mengajakku untuk pergi berdua saja. Tapi aku yang memang rindu Jogjakarta, akhirnya nekat berangkat berdua dengan Kakak perempuanku yang hanya terpaut 18 Bulan di atasku. Dan lihatlah, kini aku benar-benar menginjakkan kakiku di bumi Jogjakarta, dan benar-benar berdua dengan Kak Raissa.

                Dalam perjalanan ke Desa Tukmudal, ku amati rumah Mbah Tri yang memang satu desa dengan Nenek. Tetapi sosok yang kuharapkan tidak tampak disana. Ku tundukkan kepalaku lemah. 4 tahun bukan waktu yang singkat. Aku ingin melihatnya lagi. Masihkah seseorang itu tinggal disini, atau sudah tinggal bersama Ibunya di Bandung ? Entahlah.

                Dalam ketidakpastian, tiba-tiba sosok itu hadir . Aku yakin itu adalah dia. Meski sekilas, tapi aku tau dia pun melihatku. Tatapannya menyiratkan bahwa aku seolah bayang-bayang diingatannya. Kedua alisnya menyatu, seakan-akan sedang mengingat-ingat siapa sosok yang dilihatnya. Mungkinkah lamanya waktu 4 tahun sudah mengambil memori tentangku diingatannya ? Semudah itu kah dia lupa ? Padahal aku begitu mengingatnya, dan mengharapkan dia hadir kembali di kehidupanku.

               
                Keesokan harinya, Nenek mengajakku dan Kak Raissa untuk membersihkan kebunnya. Meski tanaman buah Nenek sedang tidak berbuah, tapi Cengkeh untuk saat ini sedang panen. Puluhan pohon cengkeh Nenek sedang subur berbuah. Orang-orang suruhan Nenek sudah banyak dikerahkan untuk memetik cengkeh. Lalu cengkeh itu dijemur, dan dijual di pasar.
                Aku dan Kak Raissa membantu memetik cengkeh yang memang mudah tergapai tanpa harus memanjat pohonnya. Sementara Nenek menyapu daun-daun yang berserakan, kemudian membakarnya.

                                “Mey ..” Panggil seseorang.
                                “ Raihan .. ? “ Raihan tersenyum kecil. Aku pun menghampirinya.
                                “ Apa kabar .. ? “ Tanyaku ragu. Raihan mengangguk-angguk pelan.
                                “ Dalam rangka apa kesini .. ? “ Kini Raihan yang bertanya.
                                “ Liburan aja .. “ Jawabku singkat. Raihan ber-oo panjang. Entah kenapa, perasaanku jadi kacau. Aku gugup begitu dekat dengan Raihan. Banyak yang ingin aku bicarakan, tetapi mulut ini seakan kelu. Tak sanggup berbicara.
               
                Dalam kesunyian, kuamati Raihan. Dia amat berbeda. Pakaian yang sederhana dan santai. Celana jeans selutut, dengan kaus biru muda. Kulitnya putih bersih. Tubuhnya semakin tinggi, sekitar 165 cm lebih. Padahal seingatku, 4 tahun yang lalu tinggi badanku hampir sama dengan Raihan. Ah, Raihan. Aku semakin mengaguminya.

                                “ Rencana lanjut kemana, Mey .. ? “ Tanya Raihan memecah sunyi.
                                “ Lagi daftar di UGM, do’a-in biar lolos seleksi ya .. “
                                “ UGM .. ? Kenapa nggak yang di Jakarta aja .. ? UNJ misalnya .. ? “
                                “ Biar bisa sekalian tengokin Mbah Rini. “ Aku beralasan. Sekalian bisa sering ketemu kamu .. Lanjutku dalam hati. Aku tertawa kecil sendiri.
                                “ Kalau kamu .. ? “ Giliranku bertanya.
                                “ Pengennya sih disini lagi .. “ Aku mendesah nafas lega.
                                “ Tapi Ibu sudah mendaftarkanku di PTN daerah Bandung .. “ Lanjutnya, sedih. Aku mendesah nafas kecewa. Lagi-lagi aku dan Raihan terdiam lama.
                                “ Maaf, Mey .. “ Ujar Raihan.
                                “ Untuk .. ? “
                                “ Selama 4 tahun kemarin, aku berusaha menghindar tiap kamu datang kesini. “
                                “ Kenapa .. ? “
                                “ Maaf, Mey .. “
                                “ Untuk apa lagi .. ? “
                                “ Aku baru bisa ngomong sekarang .. “
                                “ Kamu kenapa sih, Rey .. ? “ Aku semakin penasaran, dan tak paham.
                                “ Aku menyukaimu. “ Aku terdiam. Raihan tertunduk.

                Perasaanku tak karuan. Kaget. Senang. Bingung. Heran. Semuanya. Aku tak tau harus bicara apa. Ingin rasanya aku menangis. Haru. Orang yang selama ini ku kagumi, ternyata memiliki perasaan yang sama terhadapku.

“ Aku senang bisa bertemu lagi sekarang .. Lusa aku akan berangkat ke Bandung. Maka dari itu, aku tidak ingin menghindari kamu lagi. Aku beranikan diri bertemu kamu. Karna mungkin, aku akan sulit untuk bertemu kamu lagi kalau aku sudah di Bandung nanti. Berapa lama ya, kita nanti nggak ketemu .. ? 1 tahun .. ? 2 tahun .. ? 4 tahun seperti kemarin .. ? Atau bahkan lebih lama .. ? Aku juga tidak tau pasti. “ Ujar Raihan tanpa memandangku.
Mendengarnya berbicara, tak terasa air mataku jatuh perlahan. Tiba-tiba Raihan berdiri dari duduknya, kemudian mengusap air mataku.
                “ Aku pulang duluan ya ..” Pamitnya, sambil mengacak-acak rambutku. Aku memandangnya heran, hingga batang hidungnya tak tampak lagi.
Hari sudah sore. Kak Raissa dan Nenek mengajakku mandi di mata air. Disana sudah tersedia kamar mandi, yang dibangun oleh Mahasiswa BEM salah satu Universitas Negeri di Jogjakarta. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan Raihan. Raihan tersenyum lalu menghampiriku.

                “ Mau mandi di mata air sana ya .. ? “ Tanya Raihan, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal sejak dari kejauhan melihat Raihan, jantungku sudah berdegup kencang. Salah tingkah.
                “ Iya, kamu juga .. ? “ Tanyaku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
                “ Yapp ..”
                “ Kok nggak bawa apa-apa .. ? “ Tanyaku lagi, heran.
                “ Laki-laki itu nggak ribet kayak perempuan.” Jawabnya sekenanya.
                “ Enak aja. Perempuan itu lebih menjaga penampilannya ketimbang laki-laki tau.” Belaku sewot. Raihan tertawa.

Sesampainya di mata air, Kak Raissa dan Nenek mandi terlebih dulu, karna memang kamar mandi yang tersedia cuma 2. Aku menunggu giliran di sebuah joglo sederhana di dekat mata air, ditemani Raihan. Aku semakin kikuk. Tak nyaman.

                “ Jalan-jalan, yuk ..” Ajak Raihan sambil menarik lenganku. Aku menggeleng cepat.
                “ Mau mandi ahh .. “ Tolakku gengsi.
                “ Pohon salaknya Mbah Tri lagi berbuah, lho.” Bujuknya lagi. Aku tetap bersikukuh.
                “ Mandinya di rumah aja. Lagian walaupun nggak mandi tetep cantik, kok.” Goda Raihan.
                “ Namanya juga perempuan .. !! Kalau ganteng ya laki-laki lahh .. “
                “ Berarti aku ganteng .. ?” Ujarnya percaya diri. Aku tertawa kecil.

Aku memutuskan untuk ikut dengan Raihan ke kebun salak milik Mbah Tri setelah meminta izin kepada Nenek dan Kak Raissa. Tak jauh dari mata air, disitulah letak kebun salak Mbah Tri. Raihan mengambil sebuah arit dari dalam saung kecil lalu memberikannya padaku.

                “ Petik salaknya pakai ini ya .. “
                “ Kamu .. ? “
                “ Aku biasa pake tangan telanjang.” Katanya.

Ku ambil satu demi satu salak yang kelihatannya matang. Melihat Raihan memetik salak dengan tangan telanjang, aku jadi ingin mencobanya. Tanpa kusadari, 2 buah duri tertancap di telapak tanganku. Aku mencoba mencabut duri itu sebelum akhirnya Raihan menarik tanganku dan mencabut duri menyakitkan itu.

                “ Kan udah dibilang, pakai arit aja.”  Aku tersenyum terpaksa. Raihan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Usai memetik beberapa buah salak, Raihan mengantarku pulang ke rumah Nenek.

                “ Tahun ini, umurmu 18 ya .. ? “ Tanya Raihan.
                “ Kenapa .. ? “
                “ 4-5 tahun kedepan, tunggu aku disini ya .. “ Pintanya. Suaranya terdengar parau.
                “ Untuk apa .. ? “ Tanyaku sinis. Raihan memaparkan alasannya. Aku tersenyum sedih.
                “ Seandainya itu hanya harapan kosong, aku nggak mau .. Aku nggak mau terlihat menyedihkan karna menantikan sesuatu yang sia-sia.” Ujarku.
                “ Seandainya ini harapan pasti .. ? “ Tanya Raihan meyakinkan.

Ku angkat kedua bahuku pelan, lalu bergegas masuk ke rumah Nenek. Dari balik jendela, kulihat Raihan tersenyum lega. Jalannya tidak akan semudah itu, Rey .. Ujarku dalam hati.


_ TO BE CONTINUE _


^AnnaWafaAn_Nisa^