Senin, 22 Oktober 2012

Sejatinya Cinta_Part 1


         Udara pagi Jogjakarta menampar pipiku. Hawa dingin menusuk tubuh, bulu kudukku berdiri, dingin. Ku lirik jendela sekilas. Sebuah papan biru memanjang bertuliskan ‘TERMINAL BUS PURWOREJO’ langsung hadir di depan mataku. Tak sampai 2 jam lagi aku akan sampai di Perempatan Ngeplang, Jogjakarta, Setelah itu menumpang bus Menoreh tujuan Dekso.

Kulihat jam tangan biru pemberian Ayah. Jarum pendeknya, menunjukkan di angka 5. Pantas udara masih sedingin ini. Ku tutup jendela rapat-rapat, lalu kukenakan jaket biruku. Ku arahkan pandangan ke seluruh penjuru bus. Awal keberangkatan dari Terminal Bus Sumber Alam Pondok Ungu, Bus ini sesak dipenuhi penumpang. Tapi saat ini Bus sudah sepi. Hanya tinggal beberapa penumpang saja. Termasuk aku dan Kak Raissa.

                “ Jam berapa, Mey .. ? “ Tanya Kak Raissa padaku.
                “ Masih jam 5.45, Kak .. ” Jawabku.
                “ Sampai mana ya, ini .. ? “ Tanyanya lagi, sambil mencari-cari pamflet yang tertera nama Kotanya.
                “ Udah di Terminal Purworejo, Kak. “ Kataku, sambil berancang-ancang untuk melanjutkan tidur.
                “ Eeeh .. Jangan tidur lagi .. Sebentar lagi kita kan turun. “ Cegah Kak Raissa, sebelum aku benar-benar  menyandarkan kepalaku di kursiku.
                “ Iihh, Kakak .. Masih 2 jam lagi .. “ Aku merajuk. Kak Raissa geleng-geleng kepala, sambil terus menahan kepalaku.
                “ Nggak .. Nggak .. Daripada kita nanti kebablasan, hayo .. ? “ Kak Raissa ber-argumen.
                “ Kan Kakak bangun, kalau udah mau sampai, tinggal bangunin aku. Ribet deh ahh .. Aku masih ngantuk banget, Kaaak .. Kakak mah enak, udah tidur lama. “ Belaku.
                “ Pokoknya enggak .. Terserah kamu, kalau kamu tetep ngotot mau tidur lagi, Kakak nggak mau bangunin kalau udah sampai nanti. “ Ancam Kak Raissa. Aku menyerah. Ku buka mataku secara paksa. Kak Raissa ini, kalau ada maunya, nggak bisa ditolak !! Gerutuku dalam hati. Kak Raissa pun tersenyum. Aku melengos membuang muka, menghadap jendela. Kak Raissa malah tertawa.


                “Pak .. Pak .. “ Panggil Kak Raissa kepada seorang Bapak pengganti Supir. Bapak itu pun menghampiri tempat duduk kami.
                “ Ya, Neng .. ? “  Sahut si Bapak.
                “ Perempatan Ngeplang ya, Pak. “ Pesan Kak Raissa. Bapak itu tersenyum, kemudian mengambil tempat duduk dibelakang kami, yang memang sudah kosong.
                “ Masih lama, Neng .. Nanti di kasih tau.” Jawab Bapak itu.
                “ Ohh .. Makasih ya, Pak. “ Ujar Kak Raissa. Aku memandang Kak Raissa heran.
                “ Kenapa, kamu .. ? “ Tanya Kak Raissa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan olehku.
                “ Ihh .. Apa dehh .. Sok banget, pake tanya-tanya segala .. Kayak baru pertama kali kesini aja.”
                “ Biarin, daripada nyasar .. “ Kak Raissa tertawa kecil. Aku kembali mengarahkan pandanganku keluar.


Tiba-tiba tercium asap rokok. Dan aku benci asap rokok. Sama halnya dengan Kak Raissa. Kami berdua saling berpandangan. Kesal. Kak Raissa memberi tanda dengan mata, bahwa yang merokok adalah Bapak pengganti supir tadi, dan tepatnya yang duduk dibelakang kursi kami. Kak Raissa mengambil tissue, sementara aku mengambil syal-ku, lalu kami sama-sama menutup hidung. Ku buka jendela lebar. Asap rokok itu menghilang, terkalahkan oleh angin yang berhembus kencang. Kunikmati dalam-dalam angin segar itu. Wangi khas rumah Nenek melintas di pikiranku. Bukit-bukit hijau yang terlihat bertumpuk-tumpuk, menghiasi pandanganku. Dan juga sawah yang terbentang luas .. ah .. Jogjakarta .. Aku mencintai kota ini ketimbang Jakarta, kota kelahiranku. Dan aku pun mencintai kenangan itu, kenangan di kota ini. Ya .. Kenangan 4 tahun lalu …….

Ramadhan, 2008 …..


                        Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi keluarga besarku, tepatnya keluarga besar Mama, untuk pulang kampung. Apalagi semenjak Kakek meninggal beberapa bulan silam, Nenek tinggal seorang diri. Saat itu, usiaku masih 13 tahun. Dan masih duduk di bangku SMP kelas 2. Dalam perjalanan ke rumah Nenek, kulihat seorang laki-laki yang sepertinya sebaya denganku, tengah memberi makan 2 ekor anak kambing. Sepertinya laki-laki itu belum lama tinggal disini, karna baru kali itu aku melihatnya.


                Nenek memiliki lahan yang amat luas, yang didalamnya terdapat berbagai tanaman. Tak afdhol rasanya, kalau ke rumah Nenek, tidak mampir ke kebunnya. Maka dari itu, esoknya sesampainya di rumah Nenek, aku berjalan-jalan mengelilingi kebun Nenek, menyirami tanamannya, menyapu jalanan-nya, tak lupa memetik buah pisang yang memang sengaja Nenek tanam. 


                Dari kejauhan, aku mendengar suara gesekan antara daun-daun kering. Sepertinya ada yang sedang menyapu jalan setapak ini. Ternyata benar dugaanku, laki-laki yang tempo hari aku lihat, sedang mengumpulkan sampah-sampah dedaunan kering, dan siap membakarnya.

                                “ Permisi “ Ujarku, sambil tersenyum.
                                “ Silahkan .. “ Jawab lelaki itu sambil menyunggingkan senyum di wajahnya.
                                “ Kamu, dari Jakarta ya .. ? “ Tanya laki-laki itu, sebelum aku pergi menjauh.
                                “ Iya. “ Jawabku singkat, kemudian menghentikan langkahku.
                                “ Mau kemana .. ? “
                                “ Ke kebun Nenek .. “
                                “ Nenek .. ? “
                                “ Iya, Mbah Rini. “
                                “ Ohh .. Cucunya Mbah Rini .. ? Salam kenal, aku Raihan, tinggal di rumah Mbah Tri .. Kenal .. ? “ Ujar-nya memperkenalkan diri.
                                “ Aku Meyda .. Iya, aku kenal Mbah Tri .. Kamu, mudik juga kesini .. ? Kok aku baru tau Mbah Tri punya cucu laki-laki .. ? “ Tanyaku. Raihan tersenyum simpul, lalu menyalakan korek dan membakar gundukan sampah dihadapannya.
                                “ Aku saudara jauhnya Mbah Tri. Sebenernya aku nggak pernah mengenal Mbah Tri. Ibu nitipin aku disini untuk beberapa lama. Kurang tau pasti sih, silsilahnya. Yang jelas, kakak Ipar-nya Ibu aku itu anak dari Mbah Tri .. Bingung nggak .. ? Hehe .. “ Paparnya. Aku ber-oo ria. Tak beberapa lama, aku pamit undur diri, sementara Rey, begitu aku memanggilnya, masih berkutat dengan sampah-sampahnya.
                Mengingat-ingat sebutan untuk namaku dan nama Raihan, aku jadi tersenyum sendiri. Mey untuk Meyda, dan Rey untuk Raihan. Benar-benar suatu kebetulan.

                                “ Hayooo .. Kenapa senyum-senyum sendiri .. ? Habis kesambet apa .. ? “ Ujar Rama mengagetkanku. Ku jitak kepalanya pelan, meski aku tau usianya 2 tahun diatasku. Rama meringis kesakitan.
                                “ Ihh .. Kok malah nge-jitak sih .. “ Protes Rama.
                                “ Siapa suruh bikin kaget .. ? “ Belaku.
                                “ Hehe .. Makin cantik aja deh, Meyda Indira .. Apa kabar .. ? Setahun nggak ketemu, rasanya sudah bertahun-tahun ya .. “ Goda Rama. Aku melengos pergi. Rama menjajari langkahnya denganku.
                                “ Juteknya kok masih dipelihara sihh .. ? “ Kuhentikan langkahku, lalu ku pandangi tetangga Nenek yang super usil dihadapanku ini. Rama menjadi salah tingkah. Aku tersenyum sinis, kemudian menarik kerah bajunya.
                                “ Terus, kalau aku jutek kenapa .. ?” Tantangku.
                                “ Ehh. Meyda Indira berani ya .. Sini, aku acak-acak rambutmu itu ..” Aku berlari menghindari tangan usil Rama yang siap mengacak-acak rambut kesayanganku ini. Kami tertawa.

                Rama adalah tetangga Nenek, dan sudah akrab denganku sejak aku kecil. Dulu saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD, dan Rama di kelas 2 SMP, Rama pernah menyatakan perasaannya terhadapku. Aku hanya tertawa saat itu, dan menganggapnya hanya sebuah lelucon. Sejak itu, Rama menjauhiku. Tapi tak lama, hanya 1 tahun. Setelah itu, Rama kembali seperti Rama yang ku kenal. Ya, hingga kini.


                Tapi terkadang, sifat usilku muncul, dan meledek kejadian ‘penembakan’ itu. Rama selalu meresponnya dengan perkataan, ‘Kalau itu bukan lelucon, apa kamu mau .. ?’. Dan lagi-lagi aku tak menganggapnya serius. Setelah itu Rama pasti ngambek, dan baru menegurku keesokan harinya. Ah, Rama .. Rama .. You’re just my brother, okay. No more.


                Hari yang kutunggu-tunggu tiba. Lebaran. Usai sholat Id, aku dan keluarga kembali ke rumah Nenek untuk bersiap-siap berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk bersalam-salaman. Setelah mengunjungi beberapa rumah yang letaknya agak jauh dari rumah Nenek, kini saatnya berkunjung ke rumah terdekat.
                Aku tiba di halaman rumah Mbah Tri yang sejuk, yang dipenuhi beberapa buah pohon cengkeh yang siap panen. Seluruh keluarga besarku sudah masuk ke dalam rumah Mbah Tri, sementara aku masih sibuk dengan sepatu sandal macet ini. Rese banget deh nih, sandal .. Lagi kayak gini malah sempet-sempetnya macet sih Gerutuku.

                                “ Mau dibantu .. ?” Tawar seseorang. Ku dongakkan kepalaku. Raihan berdiri tepat didepanku, masih dengan baju koko putih dan sarung biru kotak-kotak-nya.
                                “ Eh, Rey .. Nggak usah .. Makasih.” Tolakku halus. Tanpa persetujuanku, Rey membungkukkan badannya dan membantuku melepas sepatu sendalku. Aku berusaha mencegahnya, tetapi Rey tetap bersikeras membantuku. Aku tersenyum kecil.
                                “Makasih” Ujarku pelan, setelah Rey berhasil melepas sepatu sendalku. Rey tersenyum, dan berdiri, kemudian masuk kedalam kamarnya. Sementara aku menyusul Mama dan yang lainnya.

                Aku duduk diantara Kak Raissa dan Dheya, adikku. Makanan khas Jogjakarta banyak terhidang di atas meja. Segelas sirup Orange hangat pun tak lupa dihidangkan. Tak lama, Raihan keluar dari kamarnya dengan memakai celana jeans dan kaos merah biru belang-belang.


                Dengan santai, Raihan menghampiri ruang tamu dan menyalami keluargaku satu persatu, termasuk aku. Raihan kemudian keluar dan menghampiri Rama serta beberapa anak lelaki seusianya yang tengah menunggu di halaman rumah Mbah Tri.

                Masih dalam suasana lebaran, Kak Raissa mengajakku berjalan-jalan. Sawah adalah tujuan utama. Karna disana ada sungai yang airnya amat jernih dan segar. Tak lupa Kak Raissa mengajak sepupu-sepupuku. Rama, yang meski tak diajak, pasti ikut. Aku heran dengan anak ini. Kemana aku pergi pasti dia ikut. Dan yang lebih membuatku tak nyaman, Rama selalu mengajak teman-temannya untuk ikut bersamanya.
                Ku pandangi Rama dari belakang. Rama dengan cerianya bersenda gurau dengan teman-teman se-‘RT’-nya itu. Tidakkah dia melihatku yang sedang kesal dengannya?

                                “ Woyy ..” Panggilnya kepada seseorang. Tak lama Raihan datang menghampiri Rama. Mau apa, Rama? Tanyaku dalam hati.
                                “ Ikut jalan-jalan yuk ..” Ajak Rama kepada Raihan. Kemudian Raihan memandang ke arahku, lalu mengangguk setuju. Ingin rasanya ku jitak kepala Rama. Bertindak sesuai keinginannya. Benar-benar Rama ini.

                Aku yang memang tidak biasa berjalan kaki jauh, jadi cepat lelah. Kuputuskan untuk istirahat sejenak, walaupun Kak Raissa tidak mau menungguku. Ku pijat-pijat kecil kakiku. Perjalanan menuju sawah memang sangat jauh menurutku. Harus menuruni bukit dulu. Aku tak sanggup jika terus berjalan.

                                “ Cape, Mey .. ? “ Tanya seseorang. Pasti Raihan, karna biasanya yang suka datang tiba-tiba adalah Raihan.
                                “ Ia, Rey..” Jawabku sekenanya.
                                “ Ha .. ? Rey .. ? Siapa tuh .. ? Cie .. Cie .. Meyda Indira.” Ledek Rama.
                                “ Eh, kamu Ram. Kirain ….”
                                “ Kirain siapa, hayo .. ? Rey siapa tuuh ..?” Ledek Rama lagi.
                                “ Ram .. Bisa nggak sih, nggak usah panggil aku selengkap itu. Kurang kerjaan tau nggak.” Aku mengalihkan pembicaraan, sambil terus memijit kakiku.
                                “ Mau di gendong .. ? Haha .. “
                                “ Apaan sihh .. ??? REY .. ????” Aku tersentak begitu tau Raihan kini yang ada di depan mataku. Aku bergegas berdiri.
                                “ Ooo .. Jadi Rey itu Raihan, Meyda Indira .. ? “ Rama meledek lagi.
                                “ Apa-apaan sih, kalian itu .. Ugghh ..” Aku berlari meninggalkan Raihan dan Rama kesal. Aku amat malu saat itu. Entah semerah apa pipiku saat tau Raihan-lah yang meledekku. Sementara Rama dan Raihan saling memandang heran.


                Sawah terhampar luas dihadapanku. Burung-burung kecil berterbangan di atasnya. Petani yang tengah istirahat di sebuah gubuk, menarik-narik seutas tali yang telah terhubung dengan orang-orangan sawah, mengusir burung-burung yang hendak merusak tanaman padinya. Sawah yang terletak di tengah-tengah perbukitan ini, amat indah dipandang.


                Aku dan ‘rombongan’ku berjalan menyusuri pematang sawah. Sebuah gubuk sejuk mengundang kami untuk mampir kedalamnya. Gubuk yang bertahun-tahun lamanya Nenek bangun di tengah sawah miliknya. Aku bersegera untuk duduk di sebuah batang pohon memanjang yang tersedia di dalam gubuk itu.
               
                                “ Hey, Mey .. “ Panggil Raihan.
                                “ He-eh ..” Sahutku pelan.
                                “ Masih BT ya .. ? “ Raihan merasa tak enak.
                                “ Keliatannya .. ? “ Ketusku.
                                “ Maaf, deh .. “ Raihan mengambil tempat duduk disebelahku. Aku masih tak menggubris permintaan maaf-nya.
                                “ Mey .. “ Panggilnya beberapa menit kemudian. Aku menoleh ke arahnya. Sebuah ukiran terpampang dihadapanku. ‘RAIDA’.
                                “ Siapa, Raida .. ? “ Aku tak mengerti. Raihan kemudian tersenyum simpul.
                                “ Raihan Meyda. Hehe .. “
                                “ Ihh, maksain deh .. Haha .. “ Aku tertawa geli.
                                “ Biarin .. Yang penting kamu bisa ketawa lagi .. “ Ujar Raihan, dan membuatku menghentikan tawaku.
                                “ Kapan, balik ke Jakarta-nya .. ? “ Tanya Raihan.
                                “ Lusa” Jawabku singkat. Kemudian kami terdiam cukup lama. Tiba-tiba Raihan tersenyum kecil, lalu menarik lenganku.

“ Kita ke sungai ya .. “ Ajaknya paksa. Aku berusaha menolak, tapi Raihan tetap tak melepas genggamannya. Mau tak mau, aku pun ikut dengannya.


                                “ Ngeplang siap-siap .. !!! “ Teriak Bapak pengganti supir, membuyarkan lamunanku. Ku bangunkan Kak Raissa, yang ternyata tidur, lalu bersiap-siap membawa barang-barang bawaanku. Perlahan, aku menuruni satu persatu tangga Bus yang selama 13 jam itu kutumpangi. Seorang anak muda menawari bantuan membawakan barang-barangku.

                                “ Dekso, Mbak .. ?” Tanya anak muda itu. Aku mengangguk kecil. Kemudian anak muda itu mengantarkan aku dan Kak Raissa pada sebuah Bus berukuran lebih kecil dari Metromini. Menoreh. Tulisan bagian belakang Bus. Bus inilah yang akan mengantarkanku ke Dekso. Kemudian melanjutkan perjalanan menumpang ojek ke Desa Tukmudal, desa tempat Nenekku tinggal.

                Acara perpisahan setelah kelulusan sudah usai beberapa hari yang lalu. Kak Raissa kemudian mengajakku berlibur ke rumah Nenek. Awalnya aku tak yakin ketika Kak Raissa mengajakku untuk pergi berdua saja. Tapi aku yang memang rindu Jogjakarta, akhirnya nekat berangkat berdua dengan Kakak perempuanku yang hanya terpaut 18 Bulan di atasku. Dan lihatlah, kini aku benar-benar menginjakkan kakiku di bumi Jogjakarta, dan benar-benar berdua dengan Kak Raissa.

                Dalam perjalanan ke Desa Tukmudal, ku amati rumah Mbah Tri yang memang satu desa dengan Nenek. Tetapi sosok yang kuharapkan tidak tampak disana. Ku tundukkan kepalaku lemah. 4 tahun bukan waktu yang singkat. Aku ingin melihatnya lagi. Masihkah seseorang itu tinggal disini, atau sudah tinggal bersama Ibunya di Bandung ? Entahlah.

                Dalam ketidakpastian, tiba-tiba sosok itu hadir . Aku yakin itu adalah dia. Meski sekilas, tapi aku tau dia pun melihatku. Tatapannya menyiratkan bahwa aku seolah bayang-bayang diingatannya. Kedua alisnya menyatu, seakan-akan sedang mengingat-ingat siapa sosok yang dilihatnya. Mungkinkah lamanya waktu 4 tahun sudah mengambil memori tentangku diingatannya ? Semudah itu kah dia lupa ? Padahal aku begitu mengingatnya, dan mengharapkan dia hadir kembali di kehidupanku.

               
                Keesokan harinya, Nenek mengajakku dan Kak Raissa untuk membersihkan kebunnya. Meski tanaman buah Nenek sedang tidak berbuah, tapi Cengkeh untuk saat ini sedang panen. Puluhan pohon cengkeh Nenek sedang subur berbuah. Orang-orang suruhan Nenek sudah banyak dikerahkan untuk memetik cengkeh. Lalu cengkeh itu dijemur, dan dijual di pasar.
                Aku dan Kak Raissa membantu memetik cengkeh yang memang mudah tergapai tanpa harus memanjat pohonnya. Sementara Nenek menyapu daun-daun yang berserakan, kemudian membakarnya.

                                “Mey ..” Panggil seseorang.
                                “ Raihan .. ? “ Raihan tersenyum kecil. Aku pun menghampirinya.
                                “ Apa kabar .. ? “ Tanyaku ragu. Raihan mengangguk-angguk pelan.
                                “ Dalam rangka apa kesini .. ? “ Kini Raihan yang bertanya.
                                “ Liburan aja .. “ Jawabku singkat. Raihan ber-oo panjang. Entah kenapa, perasaanku jadi kacau. Aku gugup begitu dekat dengan Raihan. Banyak yang ingin aku bicarakan, tetapi mulut ini seakan kelu. Tak sanggup berbicara.
               
                Dalam kesunyian, kuamati Raihan. Dia amat berbeda. Pakaian yang sederhana dan santai. Celana jeans selutut, dengan kaus biru muda. Kulitnya putih bersih. Tubuhnya semakin tinggi, sekitar 165 cm lebih. Padahal seingatku, 4 tahun yang lalu tinggi badanku hampir sama dengan Raihan. Ah, Raihan. Aku semakin mengaguminya.

                                “ Rencana lanjut kemana, Mey .. ? “ Tanya Raihan memecah sunyi.
                                “ Lagi daftar di UGM, do’a-in biar lolos seleksi ya .. “
                                “ UGM .. ? Kenapa nggak yang di Jakarta aja .. ? UNJ misalnya .. ? “
                                “ Biar bisa sekalian tengokin Mbah Rini. “ Aku beralasan. Sekalian bisa sering ketemu kamu .. Lanjutku dalam hati. Aku tertawa kecil sendiri.
                                “ Kalau kamu .. ? “ Giliranku bertanya.
                                “ Pengennya sih disini lagi .. “ Aku mendesah nafas lega.
                                “ Tapi Ibu sudah mendaftarkanku di PTN daerah Bandung .. “ Lanjutnya, sedih. Aku mendesah nafas kecewa. Lagi-lagi aku dan Raihan terdiam lama.
                                “ Maaf, Mey .. “ Ujar Raihan.
                                “ Untuk .. ? “
                                “ Selama 4 tahun kemarin, aku berusaha menghindar tiap kamu datang kesini. “
                                “ Kenapa .. ? “
                                “ Maaf, Mey .. “
                                “ Untuk apa lagi .. ? “
                                “ Aku baru bisa ngomong sekarang .. “
                                “ Kamu kenapa sih, Rey .. ? “ Aku semakin penasaran, dan tak paham.
                                “ Aku menyukaimu. “ Aku terdiam. Raihan tertunduk.

                Perasaanku tak karuan. Kaget. Senang. Bingung. Heran. Semuanya. Aku tak tau harus bicara apa. Ingin rasanya aku menangis. Haru. Orang yang selama ini ku kagumi, ternyata memiliki perasaan yang sama terhadapku.

“ Aku senang bisa bertemu lagi sekarang .. Lusa aku akan berangkat ke Bandung. Maka dari itu, aku tidak ingin menghindari kamu lagi. Aku beranikan diri bertemu kamu. Karna mungkin, aku akan sulit untuk bertemu kamu lagi kalau aku sudah di Bandung nanti. Berapa lama ya, kita nanti nggak ketemu .. ? 1 tahun .. ? 2 tahun .. ? 4 tahun seperti kemarin .. ? Atau bahkan lebih lama .. ? Aku juga tidak tau pasti. “ Ujar Raihan tanpa memandangku.
Mendengarnya berbicara, tak terasa air mataku jatuh perlahan. Tiba-tiba Raihan berdiri dari duduknya, kemudian mengusap air mataku.
                “ Aku pulang duluan ya ..” Pamitnya, sambil mengacak-acak rambutku. Aku memandangnya heran, hingga batang hidungnya tak tampak lagi.
Hari sudah sore. Kak Raissa dan Nenek mengajakku mandi di mata air. Disana sudah tersedia kamar mandi, yang dibangun oleh Mahasiswa BEM salah satu Universitas Negeri di Jogjakarta. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan Raihan. Raihan tersenyum lalu menghampiriku.

                “ Mau mandi di mata air sana ya .. ? “ Tanya Raihan, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal sejak dari kejauhan melihat Raihan, jantungku sudah berdegup kencang. Salah tingkah.
                “ Iya, kamu juga .. ? “ Tanyaku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
                “ Yapp ..”
                “ Kok nggak bawa apa-apa .. ? “ Tanyaku lagi, heran.
                “ Laki-laki itu nggak ribet kayak perempuan.” Jawabnya sekenanya.
                “ Enak aja. Perempuan itu lebih menjaga penampilannya ketimbang laki-laki tau.” Belaku sewot. Raihan tertawa.

Sesampainya di mata air, Kak Raissa dan Nenek mandi terlebih dulu, karna memang kamar mandi yang tersedia cuma 2. Aku menunggu giliran di sebuah joglo sederhana di dekat mata air, ditemani Raihan. Aku semakin kikuk. Tak nyaman.

                “ Jalan-jalan, yuk ..” Ajak Raihan sambil menarik lenganku. Aku menggeleng cepat.
                “ Mau mandi ahh .. “ Tolakku gengsi.
                “ Pohon salaknya Mbah Tri lagi berbuah, lho.” Bujuknya lagi. Aku tetap bersikukuh.
                “ Mandinya di rumah aja. Lagian walaupun nggak mandi tetep cantik, kok.” Goda Raihan.
                “ Namanya juga perempuan .. !! Kalau ganteng ya laki-laki lahh .. “
                “ Berarti aku ganteng .. ?” Ujarnya percaya diri. Aku tertawa kecil.

Aku memutuskan untuk ikut dengan Raihan ke kebun salak milik Mbah Tri setelah meminta izin kepada Nenek dan Kak Raissa. Tak jauh dari mata air, disitulah letak kebun salak Mbah Tri. Raihan mengambil sebuah arit dari dalam saung kecil lalu memberikannya padaku.

                “ Petik salaknya pakai ini ya .. “
                “ Kamu .. ? “
                “ Aku biasa pake tangan telanjang.” Katanya.

Ku ambil satu demi satu salak yang kelihatannya matang. Melihat Raihan memetik salak dengan tangan telanjang, aku jadi ingin mencobanya. Tanpa kusadari, 2 buah duri tertancap di telapak tanganku. Aku mencoba mencabut duri itu sebelum akhirnya Raihan menarik tanganku dan mencabut duri menyakitkan itu.

                “ Kan udah dibilang, pakai arit aja.”  Aku tersenyum terpaksa. Raihan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Usai memetik beberapa buah salak, Raihan mengantarku pulang ke rumah Nenek.

                “ Tahun ini, umurmu 18 ya .. ? “ Tanya Raihan.
                “ Kenapa .. ? “
                “ 4-5 tahun kedepan, tunggu aku disini ya .. “ Pintanya. Suaranya terdengar parau.
                “ Untuk apa .. ? “ Tanyaku sinis. Raihan memaparkan alasannya. Aku tersenyum sedih.
                “ Seandainya itu hanya harapan kosong, aku nggak mau .. Aku nggak mau terlihat menyedihkan karna menantikan sesuatu yang sia-sia.” Ujarku.
                “ Seandainya ini harapan pasti .. ? “ Tanya Raihan meyakinkan.

Ku angkat kedua bahuku pelan, lalu bergegas masuk ke rumah Nenek. Dari balik jendela, kulihat Raihan tersenyum lega. Jalannya tidak akan semudah itu, Rey .. Ujarku dalam hati.


_ TO BE CONTINUE _


^AnnaWafaAn_Nisa^
               
               
               


               
                               





Tidak ada komentar:

Posting Komentar